Breaking News

Rutin Diterjang Banjir dan Longsor, LDII Ungkap Strategi Mitigasi Bencana Hidrometeorologi

Bencana hidrometeorologi kini tengah melanda berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan di Semarang, banjir menggenangi 30 kelurahan di enam kecamatan. Foto: LINES


TPI Al Manshurin - Jakarta / Bencana hidrometeorologi kini tengah melanda berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan di Semarang, banjir menggenangi 30 kelurahan di enam kecamatan.

Terbaru, di Demak, banjir menggenangi 44 desa di delapan kecamatan. Lantas, bagaimana strategi mitigasinya?

Akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) Atus Syahbudin mengungkapkan, Indonesia rentan ditimpa bencana hidrometeorologi karena memiliki topografi permukaan serta kondisi fisik dan kimiawi bebatuan yang beraekaragam. “Sisi positifnya, menghasilkan tanah subur. Namun, dampak negatifnya, memicu bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan kekeringan,” imbuh Atus yang juga Ketua DPW LDII Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu.

Selain itu, Atus menjelaskan, pemicu lainnya bencana hidrometeorologi adalah aktivitas dan jumlah manusia yang terus meningkat. “Serta abainya upaya pelestarian lingkungan hidup,” katanya.

Akibatnya, luasan hutan di Indonesia semakin berkurang. “Sementara itu, laju pembangunan dan pengusahaan sumber daya mineral terus meningkat. Sehingga, cenderung merusak ekosistem dan membuat alam semakin melemah,” urai Atus.

Meskipun di pusara bencana, pemerintah dan masyarakat dapat memitigasi banjir dan longsor itu. Mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, “Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mendorong berbagai aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” ujar Atus.

Misalnya, sejak 2012 digulirkan Program Kampung Iklim (ProKlim). Dimulai dari tingkat tapak, yakni dusun atau kelurahan di pedesaan atau RW atau kelurahan di perkotaan. “Dengan demikian, aksi adaptasi dan mitigasi terhadap dampak negatif perubahan iklim dapat dilakukan, termasuk mengurangi emisi gas rumah kaca,” imbuhnya.

Sementara itu, untuk memitigasi risiko bencana, diperlukan analisis terhadap ancaman, kerentanan, kapasitas dan risiko. “Ancaman atau bahaya, adalah penyebab celaka, cidera, serta hilangnya harta benda dan nyawa,” jelasnya.

Implementasinya, diperlukan sesegera mungkin, beberapa peta zonasi daerah rawan bencana. “Seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Validasinya melalui kejadian sesungguhnya. Dengan tingkat ancaman rendah, sedang, atau tinggi, tergantung irisan antara indeks penduduk terpapar dan indeks ancaman,” ujarnya mengutip Sularso et al. (2021).

Selanjutnya, kerentanan adalah rangkaian keadaan sosial, fisik dan sikap yang memengaruhi masyarakat bertindak guna pencegahan, persiapan, mitigasi, dan tindakan. “Aspek kerentanan beserta bobotnya difokuskan pada empat hal. Pertama adalah aspek sosial, yakni berupa kepadatan penduduk 60%, dan kelompok rentan 40% (rasio jenis kelamin, kelompok usia, penduduk miskin dan cacat),” jelas Atus.

Selanjutnya kerentanan ekonomi terkait lahan produktif 60% dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 40%. Lalu kerentanan fisik yang berasal dari keadaan rumah 40%, fasilitas umum 30%, dan fasilitas kritis 30%. “Yang terakhir adalah kerentanan lingkungan yang meliputi hutan lindung 40%, hutan alam 40%, hutan bakau 10%, dan semak belukar 10%,” katanya.

Selain tingkat ancaman dan kerentanan, kapasitas dan risiko dipertimbangkan pula dalam upaya mitigasi bencana. Kapasitas merupakan kemampuan menanggapi situasi melalui sumber daya manusia, fisik, dan keuangan yang tersedia.

“Kapasitas ini dapat berwujud aturan dan kelembagaan, cerita antar generasi, pelatihan kebencanaan, dan peringatan dini. Kemudian kajian risiko bencana, penanggulangan bencana, dan/atau peningkatan kesiapsiagaan semua lini,” ungkap Atus.

Sedangkan risiko ialah potensi kerugian yang terjadi akibat bencana pada suatu wilayah kurun waktu tertentu (P2MB). Tingkat risiko apakah rendah, sedang, tinggi dicermati pada titik pertemuan antara tingkat kerugian dan tingkat kapasitas.

Kontribusi LDII

Atus menjelaskan, melalui kampanye penanaman pohon (go green), LDII telah mengajak warganya di seluruh Indonesia menanam lebih dari 3,5 juta pohon. “Tahun 2023, LDII memapankan arboretum di lereng utara Gunung Lawu, untuk konservasi insitu plasma nutfah flora pegunungan,” imbuh Atus.

Selain itu, ia mengungkapkan, di ekosistem perairan, LDII melakukan transplantasi terumbu karang, di Banten. “Kami juga aktif melestarikan hutan mangrove di Kalbar, Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Bangka Belitung, Kaltim, Sulsel, dan lainnya,” rinci pengurus Departemen Litbang, IPTEK, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup (LISDAL) DPP LDII itu.

Sementara itu, beberapa kampung proklim dan pondok pesantren (ponpes) dalam naungan LDII mengembangkan tanaman herbal, seperti jahe, kunir dan kencur. “Dengan semakin luas tutupan pepohonan dan vegetasi tersebut memungkinkan bumi mampu mencegah terjadi kekeringan di musim kemarau, serta bencana banjir dan longsor di musim penghujan,” jelas Atus.

Bahkan, hasil panen tanaman herbal menyokong pula kemandirian ponpes dengan menyediakan secara rutin minuman kesehatan bagi para santrinya.

Selanjutnya, untuk melestarikan lingkungan hidup, termasuk mengurangi bencana hidrometeorologi pada satuan pemukiman, DPP LDII telah menyosialisasikan upaya adaptasi dan mitigasi proklim secara hybrid dalam webinar “Hanya Satu Bumi: Proklim untuk Kehidupan Berkelanjutan”, pada Juli 2022 lalu.

Pada waktu itu, DPP LDII bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), IPB, UGM, dan Kampung Proklim Lestari Desa Sambak, Magelang, Jawa Tengah, berupaya membumikan pengembangan proklim di seluruh Indonesia.

Program Kampung Iklim KLHK tersebut kini telah disempurnakan oleh LDII. Inovasinya berupa pengembangan kampung iklim atau komunitas iklim berbasis masjid dan gerakan pramuka Satuan Komunitas Sekawan Persada Nusantara (Sako SPN).

Kisah sukses terobosan LDII ini dapat ditemui di Kampung Proklim Utama Girikerto Ngawi, Kampung Proklim Utama RW5 Pekanbaru Riau dan Kampung Proklim Sangurejo Sleman.

“Pada akhir tahun 2023, Kampung Proklim Sangurejo menerima studi tiru dari Ethiopian Muslims Relief and Development Association (EMRDA), Norwegian Church Aid (NCA), Universiti Putra Malaysia (UPM), dan Dinas Lingkungan Hidup, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah,” pungkas Atus.


No comments